Sabtu, 27 September 2014

CERPEN



MEMYEMBELIH AYAM
Pada suatu waktu, di sebuah pesantren ada seorang kiai yang amat menyayangi seorang muridnya. Hal ini menyebabkan murid-murid yang lain menjadi iri. Lama kelamaan iri hati murid-murid ini diketahui oleh sang kiai.
Beliau kemudian minta para santrinya untuk menunjuk 3 orang wakilnya. Setelah masing-masing wakil telah siap di halaman pondok, sang kiai berkata, “wahai para santri! Saksikanlah! Ketiga santri ini aku beri masing-masing satu ekor ayam, aku menginginkan ayam itu agar dipotong di suatu tempat yang tidak diketahui oleh siapapun.”
Setelah itu para santri dipersilahkan untuk istirahat ke kamarnya masing-masing. Ketiga orang santri disuruh mencari tempat yang tidak diketahui siapapun. Tidak beberapa lama kemudian ketiga santri itu pun pergi menjalankan tugas masing-masing. Santri pertama memutuskan untuk memotong ayam tersebut didalam gua. Setelah dirasa tidak ada yang melihat, ia pun memotong ayamnya. Ia tersenyum dengan puas. Ia yakin kedua temannya tidak mampu memenuhi permintaan kiainya.
Santri kedua pergi ke hutan yang lebat. Ia akan memotong ayamnya di sana. Sesampai di tengah hutan dan dirasa tidak ada siapa pun yang mengetahuinya, ia pun memotong ayamnya. Ia tersenyum puas. Ia merasa telah berhasil melaksanakan perintah kiainya.
Namun tidak demikian dengan santri yang ketiga, ia bahkan tidak berusaha mencari tempat yang aman untuk menymbelih ayam tersebut. Pada kesokan harinya, seluruh santri dikumpulkan lagi seperti kemarin. Pak kiai segera memanggil santri pertama, ia bercerita bahwa ia telah berhasil menyembelih ayamnya di sebuah gua yang tidak pernah dijangkau oleh manusia. Mendengar pemaparan tersebut, para santri bertepuk tangan. Mereka kagum dengan kepandaian santri pertama.
Kemudian sang kiai memanggil santri yang kedua. Santri kedua pun sudah berhasil memotong ayam tersebut. Ia bercerita bahwa penyembelihan ayam itu disembelih di sebuah hutan yang sangat lebat. Ia yakin tidak ada yang mengetahuinya. Para santri pun kembali bertepuk tangan. Mereka kagum dengan kepandaian santri kedua.
Giliran santri yang ketiga. Ia pun maju menghadap sang kiai. Namun ayamnya masih hidup. Tentu saja santri ketiga ini menjadi bahan olok-olok temannya yang lain. Namun tidak demikian halnya dengan sang kiai. Ia memerintahkan semua santri tenang dan mendengarkan alasan santri ketiga yang tidak memotong ayamnya. Santri ketiga pun menjelaskan bahwa ia tidak bisa menemukan tempat yang paling aman dan tidak bisa dilihat oleh siapa pun. Di manapun kita berada tentu tidak pernah terlepas dari pengetahuan Allah.
Penjelasan santri ketiga membuat sang kiai kagum. Beliau berseru kepada para santri, “ketahuilah para santri sekalian, perbuatan santri ketiga inilah yang benar. Ia mampu melaksanakan tugasnya dengan baik. Sekarang kalian tahu alasanku memperlakukannya secara istimewa.”
Mendengar penjelasan sang kiai, para santri mengakui kepandaian dan keikhlasan santri ketiga tersebut. Sejak saat itu, mereka memahami perlakuan sang kiai. Bahkan mereka menjadikan santri ketiga itu sebagai pembimbing mereka.



ALLAH  lebih cinta
kepada orang yang buta

seorang anak laki-laki yang bernama Mohammad. Kedua mata Mohammad buta sejak lahir. Ibunya telah meninggal dunia sejak ia masih kecil. Ia kemudian diasuh oleh ayah dan neneknya. Ayahnya yang berprofesi sebagai petani biasa dan terkadang bekerja kasar sebagai tukang bangunan sangat malu dengan anak laki-lakinya yang buta tersebut. Kerap kali ia tidak mengizinkan anaknya  untuk bermain seperti anak normal kebanyakan. Hingga akhirnya ia pun dimasukkan ke sebuah sekolah tuna netra yang semua teman-temannya buta seperti dia. Demikian setiap harinya ia belajar membaca dan mengenali lingkungan sekitarnya hanya melalui suara atau meraba-raba bentuk benda-benda tersebut.
Terkadang ia harus bertanya kepada orang-orang di sekitarnya mengenai benda-benda yang ada di sekitarnya. ‘What is over there?’ tanya anak laki-laki itu suatu hari karena penasaran akan apa yang ada di hadapannya. Hingga akhirnya ia pun menemukan cara untuk mengenali lingkungan atau benda-benda di sekitarnya melalui suara, indera pencium, dan indera peraba. Ia mengenali burung melalui kicauan-riangnya. Ia mengenal angin melalui sepoian lembut hembusannya. Ia juga mengenal dedaunan dan pepohonan dengan cara meraba-raba benda tersebut. Namun anak laki-laki tersebut terlihat sangat bahagia dengan segala keterbatasan yang dimilikinya.
Suatu hari anak laki-laki itu tidak dapat membendung air matanya karena perlakuan orang-orang di sekitarnya. Ia pun mengadu kepada salah seorang gurunya di kelas seraya berkata, “Jika aku tidak buta, mungkin aku bisa pergi ke sekolah biasa dengan anak-anak normal lainnya.”
Suatu hari gurunya pernah berkata, “Tuhan lebih cinta kepada orang yang buta karena mereka tidak dapat melihat.”
Ia menjawab, “Jika demikian adanya maka Tuhan tidak akan membuat kita buta sehingga kita tidak dapat melihat wujud-Nya.”
Gurunya mengatakan, “Tuhan itu tidak bisa bisa dilihat, tetapi Dia ada di mana-mana. Kau dapat merasakan kehadiran-Nya. Kau dapat melihat-Nya dengan ujung jemarimu.”
“Sekarang aku dapat menggapai Tuhan di mana pun aku berada sampai hari kemudian aku dapat menyentuh-Nya dan bercerita kepada-Nya tentang apa saja, termasuk segala rahasia yang ada di dalam hatiku.,” katanya sambil berurai air mata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar